Medianusantaranews.com,BANDARLAMPUNG – Relawan Jokowi-Ma’ruf Amin, tim Hukum dan Advokasi Bravo 5 Lampung, Wim Badri Zaki SH MH mendapuk kegusarannya menanggapi tema program diskusi interaktif Live ILC tvOne spesial HUT ke-11 yang akan tayang malam ini, Selasa (12/2/2019), pukul 20.00 WIB.
Program pencerahan hukum dengan rating pemirsa tertinggi itu dirilis Presiden Indonesia Lawyers Club (ILC) Karni Ilyas dalam cuitan Twitter @karniilyas, Senin (11/2/2019) dan dikonfirmasi ulang akun @ILCtv1 sekira 6 jam lalu.
“Dear Pencinta ILC, diskusi kita pada Edisi Ulang Tahun tvOne, Selasa besok berjudul “Potret Hukum Indonesia 2019: Benarkah Tajam Sebelah?” Selamat menyaksikan. #ILCPotretHukumIndonesia”, bunyi Karni Ilyas memposting.
Ditanya menohok, “benarkah, di era Jokowi ini, hukum tajam sebelah?”, advokat jebolan Hukum Internasional FH Unila ini pun menjawab ‘menonjok’. “Pertanyaan ini salah, maka jawaban apapun yang lahir dari pertanyaan yang salah bernilai salah,” tangkis Wim, lewat WhatsApp, pukul 11.01 WIB.
Wow, benarkah? Dimana letak kesalahannya? Wim –panggilan aktivis yang lama berkecimpung di HMI era mahasiswa itu pun menjabarkan Trias Politika menjernihkan duduk soalnya.
“Indonesia, telah memilih bentuk negaranya, dimana penegakan hukum dilakukan oleh yudikatif (peradilan) dibantu oleh eksekutif melalui kepolisian dan kejaksaan,” urai Wim.
Dia mengutip, berdasarkan UU Kehakiman (UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman), Pasal 5 “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut dan dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum dijatuhi putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap”.
“Berdasarkan Pasal 7A, 7B, dan 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, bahkan seorang presiden dapat diberhentikan demi hukum. Bagaimana bisa ada pertanyaan “di era Jokowi ini, hukum tajam sebelah?”, ia balik tanya.
Sebagai bagian tim hukum petahana, redaksi kembali memancing tanya, keterkaitannya dengan jabaran misi keenam dalam dokumen Visi Misi Jokowi-Ma’ruf Amin 2019-2024, “Penegakan Sistem Hukum yang Bebas Korupsi, Bermartabat dan Terpercaya”.
Didesak risaukah ia, jika ada yang menyebut demikian? Sepertinya iya –risau diksi “tajam sebelah” tersebut, Wim justru kembali balik tanya. “Jadi bagaimana bisa presiden memiliki kemampuan untuk menumpulkan atau mempertajam hukum?”
“Menimbang bahwa muara dari penegakan hukum adalah peradilan, maka presiden tidak memiliki kemampuan konstitusi untuk melakukan penajaman atau penumpulan.”
Ditandaskan Wim, menurut politik, presiden bisa melakukan amnesti, grasi dan lainnya, tapi semua hal itu dapat dilakukan dengan ketentuan perundangan. “Melanggar perundangan, bisa jadi presiden yang diberhentikan oleh MPR. Menurut UUD,” ujar dia.
“Jadi apa hebatnya presiden, selain menjadi pelaksana UU. Boleh saja polisi menangkap semua orang, bisa saja jaksa menuntut semua pihak, tapi bagaimana cara presiden mempengaruhi putusan peradilan di 4 tingkatan, termasuk PK?” sergah Wim.
Jadi, potret hukum Indonesia, tidak benar ya tajam sebelah? “Tidak tepat. Karena hukum itu alat. Tergantung siapa yang pegang alat. Dalam hal ini, yang pegang alat bukan presiden, tapi badan peradilan,” imbuhnya.
“Jadi, kalau putusan pengadilan dinilai tak adil, silahkan banding, jika masih tak adil putusan banding, silahkan kasasi. Jika tak juga merasa adil putusan kasasi, dan memiliki syarat cukup untuk peninjauan kembali, silahkan mengajukan PK,” papar Wim.
Jika sudah 12 orang hakim dari tingkat pertama, sampai PK masih dinilai tak adil, jelas Wim, demi kepastian hukum, maka putusan itu harus dilakukan. Dan bernilai keadilan telah ditegakkan. “Dari seluruh proses hukum itu, dimana peran presiden? Gak ada,” lugas dia.
“Intinya, pertanyaan ini salah, maka jawaban apapun dari pertanyaan yang salah, bernilai salah,” pungkas Wim.
Terpisah, relawan Bravo 5 Milenial Lampung, Kevin, menyebut jika tema ILC malam ini lebih condong dia asosiasikan menggiring opini. “Bagi yang belum punya sikap bakal milih paslon 01 atau 02, harus jeli nih,” ucap Kevin, ditemui di sekretariat Bravo 5, Gedung Darmapala, Kedaton, Bandarlampung, Selasa sore.
Sementara, sejumlah potret kemajuan institusional dari reformasi peradilan, selain tantangan PR ke depan, pernah dirilis Indonesian Judicial Reform Forum (IJRF) pada 2018. Salah satu hasil risetnya, pembaruan peradilan masih dipahami sebagai tanggung jawab lembaga pengadilan semata belum dipahami sebagai tanggung jawab bersama seluruh lembaga peradilan, aparat penegak hukum, advokat, lembaga pendidikan hukum, dan masyarakat sipil.
Riset itu juga menilai masih belum optimalnya sinergitas prioritas pembaruan hukum oleh masing-masing cabang-cabang kekuasaan Trias Politika. [red/mzl]