Jakarta
medianusantaranews.com
Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Trend Asia mencatat pendanaan dari perbankan nasional kepada enam perusahaan batu bara besar di Indonesia sepanjang 2020-2023 mencapai Rp 163 triliun.
Peneliti ICW Yassar Aulia mengatakan delapan tahun usai Indonesia menandatangani Perjanjian Paris, rupanya komitmen untuk mendorong transisi energi hijau, bersih, dan berkeadilan itu masih jauh dari harapan.
Bahkan industri batu bara terus menggurita karena sejumlah perbankan nasional, termasuk milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kerap mengucurkan dana untuk memperpanjang nafas perusahaan tambang yang dimiliki orang terkaya di Indonesia.
“Bank-bank tersebut merupakan bank yang familiar digunakan masyarakat Indonesia untuk menyimpan tabungan mereka,” kata Yassar seperti dikutip dalam keterangan tertulis pada Kamis, (07/08/2024) dilansir dari bisnis.tempo.co
Namun menurut Yassar, bank-bank itu masih mendanai batu bara yang pada akhirnya semakin memperkaya para taipan di Indonesia.
“Kepercayaan masyarakat kepada bank untuk kebutuhan keuangan sehari-hari mereka, justru ternodai oleh investasi ke energi kotor perusak lingkungan yang dilakukan oleh bank-bank tersebut.” Katanya
Dibeberkan Yassar, ICW dan Trend Asia mencatat Bank Mandiri merupakan lembaga keuangan yang menduduki peringkat pertama sebagai pemberi dana terbesar untuk industri batu bara. Bank BUMN itu telah menyalurkan sedikitnya Rp 66 triliun dalam kurun waktu 2020–2023. Berikutnya, ada Bank Rakyat Indonesia (BRI) menduduki peringkat kedua pemberi dana terbesar untuk industri batu bara. Tercatat dalam laporan tahunan keenam perusahaan tersebut, BRI telah menyalurkan dana sebesar Rp 23 Triliun selama 2020-2023.
Dalam laporan ICW dan Trend Asia tertajuk Mendanai untuk Menunda: Lembaga Keuangan, Korporasi, dan Individu yang Berpotensi Menghambat Transisi Energi Bersih yang Berkeadilan keenam bank tersebut mengalirkan dana untuk tambang perusahaan batu bara besar di Indonesia. Perusahaan tersebut adalah Adaro Energy Indonesia, Bumi Resources, Dian Swastatika Sentosa (DSSA), Bayan Resources, Indika Energy, dan TBS Energi Utama.
Posisi pengambil keputusan tertinggi di perusahaan-perusahaan tersebut dipegang oleh kelompok elite kaya dan tokoh-tokoh politik dengan catatan kasus hukum. “Total kumulatif kucuran dana untuk keenam perusahaan itu mencapai Rp163 triliun (Rp163.930.132.583.916),” ungkap Yassar.
Masih keterangan Yassar, laporan ICW dan Trend Asia merinci PT Dian Swastatika Sentosa (DSSA) yang merupakan bagian dari Sinar Mas menjadi perusahaan batu bara penerima total uang terbesar dari berbagai lembaga keuangan.
Adapun, saham PT DSSA dipegang oleh keluarga Widjaja. Pendiri Sinar Mas Eka Tjipta Widjaja menempati jajaran orang terkaya Indonesia dengan kekayaan mencapai Rp 140 triliun saat ia masih hidup.
DSSA menerima pinjaman dari 25 lembaga keuangan, termasuk bentuk pinjaman sindikasi, sedikitnya Rp 63 triliun dalam kurun waktu 2020–2022. Lembaga keuangan nasional yang tercatat ialah Bank Mandiri, Bank Mega, Bank Danamon, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Permata, Bank Central Asia (BCA), dan Bank Syariah Indonesia.
Secara formal, perbankan nasional seperti Bank Mandiri, memiliki komitmen mengurangi pembiayaan batu bara.
Dalam laporan tahunannya, Bank Mandiri menyampaikan tidak akan membiayai proyek yang membahayakan lingkungan.
Tapi faktanya, Bank Mandiri masih menyalurkan dana untuk industri batu bara, salah satunya untuk pembangkit listrik batu bara khusus industri (PLTU captive) smelter aluminium milik grup Adaro di Kalimantan Utara. PLTU ini akan berkontribusi pada pencemaran udara sebab melepas sekitar 5,2 juta ton CO2 per tahun.
“Terlihat sangat jelas sepanjang periode pemerintahan Presiden Joko Widodo bagaimana ekosistem politik, hukum, maupun ekonomi yang dibangun justru berpihak pada kepentingan industri batu bara semata.
Padahal, sudah jelas bahwa pembangkit listrik tenaga batu bara merupakan salah satu penyumbang emisi terbesar,” kata Yassar.
Sementara itu, Periset Trend Asia Zakki Amali mengatakan dukungan finansial tersebut merupakan pengingkaran sektor keuangan pada prinsip-prinsip iklim Perjanjian Paris yang memastikan aliran pendanaan konsisten dengan upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dan pembangunan yang berketahanan iklim.
Fenomena ini, lanjut dia, mengindikasikan lemahnya komitmen transisi energi dari perbankan nasional dan pemerintah yang masih memberikan ruang fiskal untuk energi kotor.
Oleh karena itu, kata Zakki, Indonesia harus memiliki komitmen kuat terhadap Perjanjian Paris dengan menghentikan dukungan pembiayaan industri batu bara.
“Upaya ini untuk mendorong perusahaan berhenti melakukan ekspansi proyek dalam bentuk apapun, termasuk PLTU batu bara maupun perizinan pembangunan pembangkit listrik untuk industri (PLTU captive).
Perlu upaya serius untuk melakukan dekarbonisasi sektor energi dan tidak lagi melakukan segala bentuk greenwashing dan climate delay dalam regulasi maupun kebijakan investasi di Indonesia,” Demikian kata Zakki.
(Ab)