Medianusantaranews.com (Pringsewu) – Beberapa hari ini Kabupaten Pringsewu masih dihebohkan dengan viralnya video seseorang yang mengaku wartawan senior bernama Heri Ch. Burmeli. Dalam video itu yang bersangkutan telah menghina Bupati Pringsewu Hi. Sujadi. Akibat beredarnya video tersebut para insan Pers terbelah dua antara pro dan kontra terutama di media sosial.
Insiden yang menggemparkan dunia Pers di Kabupaten Pringsewu ini terang saja banyak mendapat sorotan berbagai pihak, baik dari Lembaga Pers, Organisasi Pers, praktisi hukum sampai akademisi. Semua mengecam keras tindakan pelaku yang dirasa mencoreng nama baik pers itu sendiri karena tidak berpijak pada etika jurnalistik dan sopan santun.
Merasa tidak terima atas unggahan video tersebut beberapa ormas dan lembaga pers mengambil sikap dengan melaporkan kejadian ini ke Polda Lampung, adapun Ormas yang melapor tersebut diantaranya GP Ansor, Banser, Laskar Merah Putih, Ormas Tampil termasuk dua Lembaga Wartawan yakni FKWKP dan FJI Kabupaten Pringsewu sebagai wujud tidak terimanya berbagai elemen tersebut karena bupatinya dihina.
Salah seorang narasumber yang sempat dihubungi adalah Akademisi dari Perguruan Tinggi di Bandar Lampung DR. Yunada Arpan, S.E., M.M. yang juga telah bergelut di dunia pers lebih dari dua dekade. Ketika dihubungi melalui sambungan telepon, dosen di beberapa Perguruan Tinggi ini mengatakan harus diawali dengan melihat asal kata “amplop” terlebih dahulu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terdapat 2 arti kata amplop yang masuk ke dalam kelas kata nomina (kata benda) yaitu sampul surat dan yang kedua uang sogok.
Dalam setiap kegiatan baik pertemuan maupun pelatihan jurnalistik, para insan Pers selalu diingatkan tentang UU pokok Pers dan pentingnya wartawan Indonesia memahami landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme dengan harus menaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Diuraikannya, khusus yang saat ini viral di Kabupaten Pringsewu memunculkan banyak pertanyaan karena harus ditelaah dulu bagaimana sebenarnya etika atau aturan umum tentang wartawan dan amplop? Etika tersebut ada pada Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan tafsirnya.
Pada Pasal 6 berbunyi, Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Yang Penafsirannya adalah menyalahgunakan profesi yaitu segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
“Sedangkan suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi. Nyata dan jelas yang dilarang Pasal 6 KEJ adalah menerima suap,” tegas Yunada yang juga Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Jurnal Ilmiah Gema Ekonomi.
Kemudian, menanggapi video yang beredar dimana sang wartawan terlihat marah-marah kepada bupati karena kecewa mendapat amplop yang isinya hanya 200 ribu dan mengatasnamakan para wartawan yang merasa dilemahkan oleh bupati.
Yunada balik bertanya, apakah peristiwa ini sang oknum wartawan merasa kurang banyak isi amplopnya? Mengatakan para wartawan dibuat susah, ini mengatasnamakan wartawan yang mana, yang buat susah siapa? Lalu bupati tidak mensejahterakan wartawan. “Lha… ini yang harus mensejahtarakan wartawan ini perusahan Pers tempat wartawan itu bernaung atau Bupati? Memang yang nyuruh berprofesi jadi wartawan siapa? Kenapa kok minta bupati yang harus bertanggung jawab? Inilah beberapa pertanyaan yang bertolak belakang dengan pasal 6 KEJ tadi,” tukasnya .
“Di satu sisi ada kode etik jurnaslistik yang melarang wartawan menerima segala bentuk pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain, tetapi di sisi lain ada pula oknum wartawan marah-marah karena merasa isi amplopnya sedikit. Ini kan aneh,” ujarnya.
Perilaku ini sambungnya, justru berpotensi merugikan para wartawan itu sendiri, sudah selayaknya wartawan dan pemerintah sebagai mitra kerja dalam menjalankan program kerja pemerintah, bukan saling menghujat atau menghina dengan cara-cara yang tidak elegan.
Meski jurnalis atau wartawan dalam bekerja dilindungi oleh Undang-Undang Pokok Pers, tetapi tetap harus mengedepan etika dan sopan santun karena wartawan itu merupakan profesi yang terhormat dan sebagai salah satu pilar demokrasi.
Menyinggung masalah ujaran kebencian yang telah dilaporkan ke Polda Lampung, Yunada memberikan gambaran bahwa ucapan kebencian atau ujaran kebencian yang dalam bahasa Inggris disebut hate speech, adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, gender, dan sebagainya.
Dalam arti hukum, ujaran kebencian (hate speech) adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut.
Dalam surat Edaran Kapolri sekitar tahun 2015 telah ditegaskan tentang ujaran kebencian itu bisa berupa tindak pidana yang diatur dalam KUHP dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, antara lain terkait penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan berita bohong.
“Nah untuk itu, tentu ranah penegak hukum dalam hal ini Kepolisian yang akan membuktikan apakah sudah termasuk kategori ujaran kebencian atau tidak, karena bidang ini juga harus dikaji dalam kajian sintaksis-semantik, dan pragmatik yang melibatkan ahli bahasa,” tutupnya. (MNN/Sahirun)