Bandar Lampung, medianusantaranews.com
Maraknya pemberitaan tentang Plt. Bupati Lampung Utara, Sri Widodo yang melakukan pelantikan 170 pejabat struktural esselon III dan esselon IV dilingkup jajaran pemkab Lampung Utara telah menjadi bahasan menarik bagi masyarakat.
Sebab tak sedikit yang mengatakan jika pelantikan tersebut diduga kuat telah jelas – jelas mengangkangi surat edaran menteri dalam negeri bernomor 821/970/SJ tentang penggantian pejabat oleh Pj/Plt/Pjs kepala daerah yang mengikuti pilkada serentak.
Namun terkait adanya pengisian jabatan yang kosong, hal tersebut bisa saja dilakukan oleh para Pj/Plt/Pjs jika telah mendapat surat persetujuan dari mendagri.
Pada surat edaran itu juga dijelaskan, pengisian jabatan yang kosong harus dilakukan dengan selektif atau seleksi terbuka dan dilakukan jika telah mendapat surat persetujuan terbuka.
Dilansir dari hukumnusantara.com ( 23/03/2018 ), Kabag hukum pemkab Lampung Utara M. Rezki mengatakan pada media bahwa memang ada surat penundaan pelaksanaan mutasi dari mendagri, namun surat tersebut masuk ke pemkab sore hari setelah dilakukan pelantikan dan akan diterapkan untuk kedepannya.
Beliau juga mengatakan jika Plt bupati Lampung Utara telah mengirimkan surat permohonan ke kemendagri sebanyak tiga kali dengan bermodalkan persetujuan dari 17 anggota DPRD Lampung Utara.
Ada beberapa hal yang menarik, untuk kemudian kita renungkan terkait pelantikan yang kontroversi ini. Mengingat banyaknya pernyataan sikap dari masyarakat yang mempertanyakan kebijakan Plt bupati Lampung Utara, Sri Widodo.
Pertama, telah terbitnya surat penundaan pelaksanaan mutasi yang terlambat sampai. Hal ini dapat diartikan jika sebenarnya kemendagri telah tegas menolak, dan pemkab Lampung Utara sudah sewajibnya sebagai penyelenggara kebijakan administrasi negara wajib dan patuh pada surat tersebut. Perlu diperhatikan, umumnya surat dibilang terlambat jika telah melewati tanggal surat tersebut dikirimkan.
Kedua, alasan datangnya surat penundaan tersebut terlambat datang adalah sebuah argumentasi yang sangat lemah, sebab SE Mendagri bernomor 821/970/SJ tentang penggantian pejabat oleh Pj/Plt/Pjs kepala daerah yang mengikuti pilkada serentak sudah dikeluarkan jauh sebelum Pj/Plt/Pjs kepala daerah dilantik menggantikan kepala daerah yang sah karena cuti mengikuti pilkada yaitu diterbitkan pada tanggal 12 Februari 2018.
Ketiga, Kabag Hukum pemkab Lampung Utara sendiri mengatakan sebelumnya telah melayangkan surat permohonan atas pelantikan tersebut. Disini maka akan timbul asumsi, jika sampai tiga kali surat tersebut dilayangkan, bisa diartikan jika kemendagri belum membalas surat tersebut karena memang masih dalam kajian, atau memang tidak menanggapi permohonan tersebut.
Adalah sangat baik, jika pelaksana roda pemerintahan di daerah sendiri sewajibnya tertib mengikuti peraturan yang telah diterbitkan. Apalagi peraturan trsebut dikeluarkan oleh pemangku kebijakan yang ditunjuk langsung oleh pimpinan tertinggi negara ini.
Adapun akibat dari dugaan pelanggaran surat edaran menteri dalam negeri ini bisa ber efek luas dan mengancam kelancaran pelaksanaan administrasi pemerintahan, sebab bisa jadi kemudian ada kecemburuan hukum di mata Pj/Plt/Pjs lain di provinsi Lampung dan daerah lain yang dikhawatirkan juga turut mengambil langkah seperti apa yang telah dilakukan oleh Plt. Bupati Lampung Utara.
Yang paling fatal adalah, hilangnya kepercayaan ASN dan masyarakat terhadap kementrian dalam negeri, jika tidak ada sanksi atau tindakan lain terkait dugaan pelanggaran tersebut. Apalagi, saat ini surat penundaan pelantikan tersebut diargumentasi dengan argumen yang sangat sepele, “terlambat datang”.
Hal ini merupakan tantangan besar bagi Tjahjo Kumolo sebagai menteri dalam negeri. Apakah kemudian beliau akan memutuskan sesuatu, atau justeru menunjukkan sikap melempem kemendagri pada masyarakat dengan membiarkan apa yang terjadi.
Yang pasti, akan ada kelanjutan dari permasalahan ini jika ternyata kemudian kemendagri mengijinkan pelantikan tersebut. Sebab, dalam pelantikan tersebut pun tidak menjalani prosedur yang ditetapkan pada SE Mendagri bernomor 821/970/SJ, yaitu selektif atau melakukan seleksi terbuka. Dan dipandang sebagian besar masyarakat tidak terlalu penting karena memang tidak mendesak sifatnya. ( Pelantikan bukan karena habis masa jabatan ).
( Red )